“Bu..Bantu Saya MengASIhi”

Oleh Andi Muthia Sari Handayani, M.Psi.*
Perjalanan mengasihi (istilah untuk proses menyusui) ibu masa kini, tidaklah semulus dan semudah seperti yang terjadi di masa lampau. Keberadaan serta kecanggihan teknologi yang dapat membantu ibu meningkatkan pengetahuan seputar asi dan menyusui, nampaknya tidak signifikan dapat membantu kelancaran dan keberhasilan ibu dalam mengasihi.
Fenomena tersebut, diperkuat oleh temuan lapangan penulis tentang penyebab terbanyak kegagalan mengasihi. Dari 400 responden penulis, yaitu ibu yang gagal mengasihi, penulis menemukan fakta bahwa minimnya pengetahuan seputar asi dan menyusui bukanlah menjadi faktor pertama dan terbanyak kegagalan tersebut.
Secara kualitatif, penulis yang juga berprofesi sebagai konselor menyusui menemukan kenyataan lapangan bahwa umumnya para ibu muda yang bermukim di wilayah kota Palu dan gagal menyusui adalah ibu yang memiliki pengetahuan seputar asi cukup baik. Banyaknya informasi yang telah diperoleh ibu, sejak dari awal kehamilan hingga dalam proses kelahiran terkait manfaat asi yang dirasakan bukan hanya untuk bayi, namun juga untuk ibu sendiri, sudah menjadi bekal ilmu yang terpatri dalam pikiran ibu.
Keberadaan fasilitas dan tenaga kesehatan baik posyandu, puskesmas hingga rumah sakit, serta bidan dan dokter yang mulai melek ASI juga turut serta menyumbangkan informasi dan pengetahuan kepada ibu. Keberfungsian youtube, google, dan whatsapp grup serta media sosial lain turut serta berperan sebagai penunjang meningkatnya pengetahuan ibu terkait asi dan proses menyusui.
Temuan data di kota Palu ini membantah hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh pakar ASI terkait proses menyusui di negara miskin dan berkembang selama hampir satu dasawarsa terakhir. Faktanya dibeberapa negara seperti Zimbabwe benua Afrika, menurut Desai, dkk pada tahun 2014 bahwa kegagalan asi disebabkan pengetahuan ibu tentang ASI dan proses menyusui, menjadi hambatan utama gagalnya mengasihi di negara tersebut.
Setahun sebelumnya, tepatnya 2013 peneliti Neifert, M dan Bunik, M telah mengatakan melalui penelitiannya Overcoming Clinical Barriers to Exclusive Breastfeeding bahwa keputusan ibu untuk berhenti atau tidak dalam memberikan asi disebabkan karena ketidakcukupan informasi mengenai manfaat asi dan cara memberikan asi yang tepat dan benar. Minimnya informasi yang diterima ibu, mempengaruhi proses menyusui, sehingga baik ibu dan bayi, bersama-sama memutuskan untuk berhenti mengasihi.
Lantas, mengapa para ibu di lembah Palu gagal menyusui sementara pengetahuan mereka tentang asi lebih dari cukup? Dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, harus di akui bahwa tidak adanya dukungan sosial yang didapatkan ibu selama menyusui menjadi dorongan terbesar ibu gagal dalam memberikan asi. Pasangan, Mertua, dan Orang Tua justru menjadi siklus yang menurunkan keinginan ibu untuk mengasihi.
Tiga serangkai penting di lingkungan ibu tersebut, ternyata menghambat ibu membangun keyakinan untuk berhasil mengasihi. Sangatlah tidak heran bagi penulis jika hal tersebut terjadi pada banyak Ibu di kota Palu. Mengapa Demikian? Harus diakui bersama, hirarki yang terbangun antara ibu dengan siklusnya, membentuk dan menentukan pola komunikasi mereka. Ibu sebagai anak dan menantu dengan label “pendatang baru di dunia kehamilan dan ASI” diharapkan dapat lebih dulu mencari dukungan untuk berhasil mengasihi. Ibu dituntut untuk proaktif belajar tentang kehamilan dan persiapan mengasihi kepada orang yang lebih tua darinya, meskipun belum tentu lebih paham. Sikap yang “seharusnya” ditampilkan ibu, menjadi lampu hijau bagi orang tua dan mertua untuk hadir secara fisik dan mental selama proses hamil hingga mengasihi.
Sayangnya, dari banyak proses mengasihi yang penulis temui di lapangan, justru berlaku sebaliknya. Ibu masa kini dianggap sebagai pembelajar pasif yang tidak mau menjadikan orang tua atau mertua sebagai pedoman dalam mengasihi anak-anaknya. Menurut orang tua dan mertua, Ibu masa kini tidak mau melibatkan 100 persen kehadiran mereka, sehingga label ‘mandiri’, ‘bisa sendiri’ atau ‘tidak usah dibantu karena sudah pintar’ tersematkan dengan kuat pada diri ibu, yang berdampak buruk pada keduanya, baik bagi ibu ataupun orang tua dan mertua. Sikap ibu yang gamang tentang ASI dan butuh pendampingan, direspon acuh tak acuh oleh orangtua dan mertua, kondisi ini pada gilirannya menurunkan keyakinan ibu untuk sukses mengasihi, dan berujung gagal.
Demikian pula ibu dengan pasangannya. Suami yang seharusnya menjadi pijakan terbesar ibu disaat hamil dan menyusui, justru terkesan sebaliknya. Pendampingan yang tidak maksimal dari suami, seperti suami yang hanya hadir secara fisik dan tidak terlibat secara psikologis, ditambah dengan tidak adanya informasi yang cukup tentang asi yang sampai ke suami, dan suami yang merasa bahwa persoalan mengasihi bukan wilayah yang harus dicampurinya, menambah daftar goyahnya keyakinan ibu untuk berhasil menyusui.
Siklus buruk yang tercipta antara ibu, pasangan dan orang tua serta mertua, tanpa disadari menjadi suatu budaya yang berdampak buruk pada kesehatan ibu dan bayi. Pada ibu, tentu saja kegagalan menyusui memberikan resiko psikologis yang besar, ketidakpercayaan diri salah satunya. Sementara pada bayi yang gagal menyusu akan berdampak pada kondisi kesehatan yang juga beresiko besar, seperti terpapar obesitas, alergi akut, infeksi pernapasan, dan lain sebagainya.
Untuk itu, penulis mengajak semua lapisan masyarakat agar lebih peduli pada ibu yang sedang hamil dan menyusui. Karena kepedulian kita, adalah langkah awal dari sehatnya atmosfir dilingkungan ibu, dan juga bentuk lain dari dukungan sosial kita kepada ibu yang sedang mengasihi
*Dosen Psikologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu dan konselor menyusui sejak 2016
Catatan: Artikel ini dimuat pada Harian Radar Sulteng, Rabu, 27 November 2019, halaman 6.